Jumat, 21 November 2014

Stop only being the dreamer, start becoming the achiever!

Beberapa tahun kebelakang, sering kali mimpi itu jadi topik yang menarik di kalangan anak-anak muda. Semua tiba-tiba jadi bicara soal mimpi. Be a dreamer. Punya mimpi yang aneh-aneh dan setinggi langit. Salah satu teman saya dulu, punya mimpi jadi astronot yang terbang ke Mars, padahal jurusan dia waktu itu Teknik Geodesi. Yah aneh-aneh deh pokoknya mimpi-mimpinya.

Ada juga yang tiba-tiba nge-tweet quote tentang mimpi, mulai dari yang paling sederhana kayak, "Gantungkanlah mimpi setinggi langit" sampai quote mimpi dari Amerika dan Eropa yang canggih-canggih.

Uhh. pokoknya jadi seorang pemimpi lagi booming lah.

Tapi memang cukup ya cuma jadi pemimpi aja?

Keren sih punya mimpi yang aneh-aneh. Dan semua juga tahu, mimpi itu bisa jadi awal dari banyak hal-hal mengagumkan. Kalau orang Amerika dulu ga pernah bermimpi ke bulan, mungkin Apollo XI waktu itu memang ga akan pernah sukses mengitari orbit bulan tahun 1969. Kalau Wright's bersaudara ga pernah bermimpi untuk terbang, kita ga bakal liat pesawat terbang mungkin.

Mimpi memang menuntun kita terhadap banyak hal yang menakjubkan. Tapi mimpi akan tetap jadi mimpi dan ga akan berubah jadi sesuatu yang menakjubkan kalau ga dikonversi jadi suatu kenyataan. Dan mengkonversi atau mewujudkan mimpi jadi kenyataan itulah yang susah.

C.S Lewis pernah menulis dalam satu bukunya mengenai sedikit komentarnya tentang mimpi. Seorang anak terpukau pada salah satu drama Yunani yang dia saksikan, dia pun bermimpi  untuk bisa berbicara dengan bahasa Yunani. Namun, sayangnya, ketika si anak mulai belajar bahasa Yunani, dia mulai merasakan bahwa mewujudkan mimpinya ternyata tidak enak dan tidak sederhana. Fasih bicara bahasa Yunani perlu waktu, keuletan, dan ketekunan. Dan itu tidak mudah.

Baru-baru ini saya mencoba belajar meluncur di arena ice skating. Sebelum belajar, saya merasa sangat excited membayangkan bisa meluncur di arena es dengan anggun dan gemulai.

Tahu kenyataannya? Latihan pertama, berjalan di atas arena itu saja saya tidak bisa. Jatuh berkali-kali. Teriak-teriak meminta supaya teman saya jangan jauh dari saya, karna saking takutnya. Apa seru? Apaan, mana ada seru-serunya.

Latihan kedua, akhirnya saya tidak lagi minta ditemani, sudah bisa jalan di atas lapangan es. Tapi apa bisa langsung meluncur? Enggak. Saya masih belajar pelan-pelan mencari keseimbangan. Dan diakhir latihan baru deh bisa dikit-dikit meluncur dan ga secape sebelumnya. Jatuh dan takutnya pun berkurang drastis.

Intinya, mimpi itu enak, asik, dan gratis. Kita bisa bermimpi apa saja, jadi apa saja, punya apa saja. Tapi mewujudkan mimpi, itu baru susahnya setengah mati. Semakin besar mimpi kita, semakin banyak kerja keras dan keuletan yang dituntut. Itu baru kenyataan.

Lebih ke reminding diri sendiri sih. Stop only being the dreamer, start becoming the achiever!

Minggu, 16 November 2014

Merasa Paling Susah? Yakin?

Dua hari ini merasa gloomy. Feeling blue. Hahahahhaa

Terus ngeluh-ngeluh dan seperti biasa mulai bertransformasi jadi selang air mata kalau udah begitu.

Kesannya udah berasa paling susah aja.

Terus barusan tiba-tiba ada wasap dari teman. Intinya dia curhat soal kondisi orangtuanya yang sakit parah di ICU. Karna kelihatannya gawat, di tengah-tengah ke-gloomy-an sendiri, saya pun memutuskan menelpon teman saya, Cerita sedikit, sampai sama-sama jadi selang air lagi, akhirnya saya menutup telepon.

Hey, I was gloomy for these two days, over something that actually is not as important as her problem. Yeah, I felt sad and exhausted, but, I still alive. My family is fine and healthy. But her problem, omg, I do not know what I have to do if I was her.

Kadang, saking sibuknya sama masalah sendiri, kita selalu merasa paling susah dan lupa melihat banyak hal baik yang masih ada dalam hidup kita.

Kalau kata teman saya satu hari, "Gw paling benci deh liat orang yang suka merasa masalahnya tuh lebih penting dari orang lain. Semua orang punya masalah tau."

Yap, semua orang punya masalah, dan kadang, kalau aja kita mau berpikir sejenak, banyak orang lain yang masalahnya jauh lebih rumit dan berat dibanding masalah kita. Yah, semua orang punya masalah dan semua harus bisa bertanggung jawab menyelesaikan masalahnya sendiri masing-masing. Kadang ga salah juga, merasa sedih, nangis, dll kalau punya masalah. Tapi harus bisa bangun lagi dan jangan sampai ganggu hidup orang lain kebanyakan. Jangan gara-gara masalah sendiri, terus jadi marah-marah, jadi sensi-an, jadi public enemy di mana-mana..

Itu bukannya sih cara kerja hidup membentuk kita. Dapet masalah, kadang kita gagal, kadang kecewa, kadang kita ga bisa memiliki apa yang kita mau. Itu biasa kali, semua makhluk hidup yang menyebut dirinya manusia waras pasti ngalamin. Yang membedakan reaksi masing-masing. Apa situ bangun dan berusaha untuk melewati dan menyelesaikan masalah atau tetap tertahan di tempat dan menyerah pada keadaan. Yah, kalau gw sih mau bangun dan jadi cewe berani yang ga takut menghadapi masalah.

Merasa paling sengsara itu ga baik tau *reminding diri sendiri* hahahhaha.

Bangun!!

Kamis, 13 November 2014

Si Tukang Ojeg Payung Cilik

Musim hujan telah tiba. Hampir tiap sore sekarang di Bandung hujan deras.

Sore ini hujan lebat. Di salah satu mal dikota Bandung, tempat saya dan beberapa teman menonton film, saya melihat seorang anak kecil, usianya mungkin sekitar 9-10 tahun, tanpa alas kaki, dalam keadaan basah kuyup, dengan wajah agak pucat, membawa payung besar, menawarkan jasa ojeg payung kepada orang-orang yang berseliweran di mal.

Apa sih ojeg payung? Ojeg payung itu istilah untuk orang-orang yang menawarkan jasa peminjaman payung saat hujan. Cukup dibayar 3-5 ribu rupiah, kita bisa dipinjami payung sampai menemukan tempat teduh atau naik kendaraan. Biasanya tarif ditentukan jauhnya jarak, kalau dekat ya 3-5 ribu rupiah.

Dulu sewaktu saya masih kecil, saya juga sudah sering melihat tukang ojeg payung berkeliaran di daerah mal kalau hujan. Tapi biasanya tukang ojeg payung yang saya temui bapa-bapa, atau lelaki muda lah.

Tapi sekarang, kebanyakan tukang ojeg payung itu malah anak-anak.

Miris rasanya melihatnya. Kedinginan, di tengah hujan, anak-anak kecil harus mencari uang ala kadarnya begitu. Pernah juga saya melihat anak perempuan berusia sekitar 13-14 tahun menawarkan jasa ojek payung. Saya yang sejujurnya ga merasa butuh payung karna cuma mau menyeberangi jalan, akhirnya menggunakan jasa ojeg payungnya karna kasihan.

Fyuh, tau deh salah siapa. Salah emak bapanya sih yang pertama menurut saya, atau keluarga dekatnya, kalau memang anak-anak tersebut punya keluarga, Ya kali dibiarin cari uang dengan cara demikian. Tega sekali.

Anak-anak seharusnya dilindungi, dinafkahi orangtuanya. Prinsip yang saya tahu dan diajarkan orangtua saya sih begitu. Kalau perlu banting tulang, kepala jadi kaki dan sebaliknya, memang itu tanggung jawab orangtua. Anak-anak kan tidak pernah meminta dilahirkan, sebagai orang-orang yang bertanggung jawab meng'ada'kan mereka di dunia, orang tua punya kewajiban penuh menghidupi anaknya.

Yang berikutnya, menurut saya salah pemerintah. Di Undang-Undang Dasar Republik ini, jelas disebut bahwa seharusnya mereka adalah tanggung jawab negara. Tapi sepertinya peran negara belum maksimal dalam menuntaskan masalah-masalah sosial di kota besar.

Anak-anak seusia itu seharusnya bermain dan belajar di sekolah. Menikmati semua yang orang dewasa tidak lagi bisa lakukan.

Masih dimimpikan dan dibayangkan bagaimana dunia yang lebih baik, sewaktu tidak lagi ada anak-anak kecil, dibawah umur, yang hidup di bawah garis kemiskinan, yang melewatkan masa kecil yang ceria, dan sebagai gantinya harus membanting tulang mencari sesuap nasi ditengah derasnya hujan.