Rabu, 29 Oktober 2014

Natur Manusia, Ego, dan Upaya Menolaknya

Manusia itu makhluk yang egois. Iya ga sih?

Bohong banget rasanya kalau ada orang yang bisa bilang dia ga memikirkan dirinya sendiri lebih dulu dibandingkan orang lain. Bahkan orang yang paling baik dan tulus *apapun ide dan definisi soal tulus dan baik itu* bisa jadi sebenernya memikirkan kepentingan dirinya sendiri dulu.

Ada beberapa kondisi yang membuat keegoisan manusia itu melunak. Salah satunya cinta. Cinta bisa membuat manusia lebih peduli, lebih tulus, lebih mau berbagi.

Kasih orangtua terhadap anak, kasih saudara, kasih sahabat, kasih sepasang pria dan wanita.

Coba deh, pasti kita mau melakukan apa saja buat orang yang betul-betul kita sayangi. Berapa kali kita melihat orang tua kita mengalah demi kepentingan kita, atau kita mengalah demi kepentingan adik kita, atau sahabat yang rela memberikan waktu atau miliknya yang lain, atau bagaimana kita rela memberikan apapun untuk orang yang kita sukai.

Tapi bahkan, kasih semacam itu pun bisa jadi masih mengandung keegoisan dan kepentingan diri sendiri. Semua ada ambang batasnya. Kalau kita berani bercermin dengan jujur terhadap diri kita sendiri, pasti kita menemukan unsur 'diriku sendiri dulu' atau 'apakah ini merugikanku' atau 'bagaimana dengan diriku' dalam hati kita, bahkan seberapa pun besarnya cinta kita pada seseorang. Semakin besar rasa cinta, tentu nilai-nilai egois itu berkurang, tapi sepenuhnya hilang? Hmm mungkin tidak.

Saya percaya bahwa saya hanya mengenal satu Kasih yang sejati di dunia. Kasih yang bebas dari keegoisan dan kepentingan. Kasih dengan motif yang bersih dan murni. Dan kasih itu saya percaya hanya ditemukan dalam diri Yang Mahakuasa. Sementara kita manusia, yang sudah tercemar banyak hal *boleh saya sebut dengan istilah kehilangan citranya* pasti memiliki sisi egois dalam diri kita.

Lalu, apakah egois adalah bagian dari natur seorang manusia? Entahlah. Opini saya mengatakan tidak. Saya percaya bahwa setiap manusia diciptakan murni tapi dosa (keserakahan, keegoisan, keinginan memuaskan diri sendiri) membuat keegoisan tidak mau pergi dari diri kita.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Saya percaya bahwa kita setidaknya bisa berusaha dan belajar untuk tidak memikirkan diri sendiri lagi. Untuk semakin menjadi serupa dengan Sang Pencipta. Kalaupun keegoisan tidak bisa dihilangkan sepenuhnya saat kita masih bernapas dan hidup di dunia ini, tapi setidaknya kita belajar untuk menghormati kepentingan orang lain, belajar peduli pada kepentingan dan perasaan orang lain. That's all

Senin, 27 Oktober 2014

Perempuan : Jalanan dan Mimpi Satu Hari Nanti

Perempuan.

Lagi-lagi berkat observasi saya dari dalam angkutan umum hehe.

Saya perempuan, berusia 23 tahun. Saat ini saya sedang berjuang untuk meraih gelar Master di salah satu universitas *yang dengan bangga boleh saya sebut universitas saya hehe* terbaik yang ada di negara ini. Di sela-sela kuliah, saya bekerja di lab kampus, dan mengajar kalkulus untuk anak tingkat satu. Di waktu lenggang, saya suka menulis, nonton bola, membaca, main, nonton, dan semuanyaaaa.

Saya sangat bersyukur untuk hidup baik yang Tuhan berikan untuk saya.

Tapi ternyata tidak semua perempuan seberuntung saya, setidaknya menurut saya.

Seringkali saya melihat sosok-sosok perempuan, rasanya sebaya dengan saya, dengan anak bayi di gendongan plus anak balita di genggaman, menaiki angkutan umum. Bukannya saya mengatakan, bahwa menikah di usia muda atau mempunyai anak di usia muda itu salah. Ga laaah. Itu pilihan, dan sometimes, that's actually is a very good choice for some women. Tapi buat beberapa wanita yang saya temui, entahlah, saya rasa mereka dan anak-anak yang mereka bawa, pantas untuk mendapatkan taraf hidup yang lebih baik.

Belum lagi soal pengamen-pengamen wanita yang sering saya temui di angkot juga. Juga ibu-ibu yang sudah sangat tua, yang saya lihat meminta-minta di jalan raya kota Bandung.

Saya ga suka aja melihat perempuan yang hidup susah payah dijalanan. Rasanya ga semestinya begitu.

Mungkin keadaannya akan berbeda kalau perempuan-perempuan Indonesia memiliki taraf pendidikan yang lebih baik dan bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Saya membayangkan, bahwa wanita-wanita sebaya saya, berada di universitas, belajar untuk mencapai posisi tertinggi yang bisa mereka capai. Bukan berada di jalanan, dengan beberapa anak sekaligus, kelihatan repot bahkan untuk memikirkan dirinya sendiri. Bukan berada di jalanan, sana sini minta-minta belas kasihan orang.

Entah kapan yaa hal itu bisa jadi kenyataan. You may say I'm a dreamer, but maybe someday. Saat semakin banyak orang yang peka dan peduli dengan keadaan di sekitarnya, dan mau membantu membuat perubahan sekecil apapun itu. Setidaknya, punya kesadaran dan keinginan untuk membantu.


Goodbye Soccer!!

Ketika cewe-cewe seumur saya dulu *pas SMP sama SMA* berlangganan majalah-majalah remaja yang isinya mengenai fashion dan fenomena F4, saya memilih berlangganan tabloid Soccer. Setiap minggu ga pernah absen. Padahal saya harus menyisihkan uang jajan saya yang dulu ga banyak *hahahahah*, tapi saya tetap setia mengumpulkan hadiah poster yang dibagikan majalah Soccer setiap minggunya, sampai semua daun pintu yang ada di kamar saya penuh dengan poster hadiah majalah Soccer.

Belakangan, setelah kuliah, saya ga pernah langganan lagi sih. Udah ada internet cuy hehehe. Dan ternyata belakangan saya baru tahu, kalau tabloid favorit saya ini sudah ga berproduksi lagi.

Yaaah, agak sedih sejujurnya. Sempat berpikir buat langganan lagi sejujurnya *bukan bullshit ini hehe*.

Selamat tinggal Soccer! Terimakasih sudah menemani saya menjadi remaja cewe yang cool abis. Yang beda dari remaja wanita lainnya. Pecinta bola. Dan terimakasih untuk poster-posternya!! Sebagian besar masih tertempel rapi di kamar saya dan saya harap akan selalu begitu. :)

Kamis, 23 Oktober 2014

The Degree of Sloppiness

"A little bit sloppy" adalah deskripsi gw pada diri sendiri. Tapi kenyataannya, bukan cuman "little bit" tapi sangat sloopy.

Laptop kemasukan air itu bukan yang pertama kali, tapi yang kedua kali dalam kurun waktu empat bulan. Waw. Mecahin frame yang baru dibeli paginya buat hadiah orang dilakukan tiga hari setelah insiden laptop kemasukan air. Sampai-sampai malam itu saking kesel dan sebelnya sama diri sendiri akhirnya air mata tumpah juga walaupun cuman dua tetes hahahahha.

Kalau orang-orang disekitar saya menjadikan semua kecerobahan itu sebagai bahan becandaan, sebenernya saya biasa-biasa aja sih. Malah saya selalu ikut menertawakan diri sendiri. Tapi kejadian laptop, frame dan semuanya dalam satu minggu kemarin kayaknya sudah agak kebangetan bahkan untuk standar saya sendiri. Bukannya sengaja, tapi memang begitulah.

Teman saya dengan cukup bijak memberi analisisnya bahwa semua itu terjadi karna saya ga aware  dengan keadaan sekitar dan kadang terkesan tidak peduli. Meletakkan segala sesuatu sembarangan. Ga rapi, dsb.

Yah, apa yang sudah terjadi, terjadilah.

Buat saya yang penting adalah saya belajar dari semua kesalahan dan kebodohan itu.

Dan saya belajar. Belajar bertanggung jawab sendiri untuk semua yang saya buat. Belajar untuk lebih aware dengan barang-barang milik saya dan lebih peduli pada masalah safety.

Yah, kalau kata Phoebe nya Friends, "Bad things sometimes happen in life. You just have to take your lesson and hopefully can grow."

Do not make it as a big deal, but take lesson from mistake I've made and be a better person. That's it.

Senin, 13 Oktober 2014

Komedi Tadi Malam

Ceritanya, akhirnya ibu gw baru berhasil diyakinkan untuk mengganti HP ke sistem android. Kemarin malam, ibu gw di ruang tamu berusaha mengotak-atik hpnya, sementara gw di dapur motong-motong mangga.  

Mama : Ka, ini gimana masukin kartunya? 
Gw      : Masukin aja, buka hpnya terus masukin. *dengan gaya teriak-teriak dari dapur*

Satu menit kemudian...
Mama : Kok ga mau nyala-nyala hpnya? Udah dimasukin nih kartunya. *dengan gaya teriak dan       panik*
Gw     : *Mikir sejenak, apa yang salah* Kartunya terbalik ga? *masih acuh meninggalkan dapur*

Satu menit kemudian...
Mama : Eh, ternyata batrenya tadi ga dimasukin.
Gw : Err.. err.. err

Hadoooh. Dipaksa ngakak-ngakak tadi malam. 

Jumat, 10 Oktober 2014

Cerita Penjual Tahu Sumedang dan Dunia yang Lebih Baik

Berkat setiap hari naik ancot *atau kalau sekarang sih bahasa populernya ngancot hahahahah* saya jadi banyak ketemu orang.

Pagi ini saya satu angkot dengan bapa-bapa penjual tahu sumedang. Bapa paruh baya ini membawa dua keranjang besar yang bertuliskan 'tahu sumedang' besar berwarna putih dan kayu yang biasa digunakan untuk menggendong keranjang tersebut.

Karna saya kurang kerjaan, saya curi-curi memperhatikan bapa ini. Bukan karna bapanya ganteng banget sih hahahah, tapi pengen liat aja. Separuh rambutnya berwarna putih, persis kayak rambut orangtua saya dirumah, bajunya berwarna abu-abu dan sudah agak lusuh. Bapa ini mengenakan sepatu olahraga nampaknya, Yang sudah agak usang juga sejujurnya.

Tiba-tiba saya merasa iba. Habis, saya ga habis berpikir, berjualan tahu sumedang gitu memang untungnya berapa sih. Tiba-tiba saya yang suka agak kelewat imajinatif membayangkan dia harus menghidupi keluargnya dengan keuntungan berjualan tahu sumedang yang saya yakin pasti ga banyak *bukannya bermaksud underestimate sihh*.

Sejujurnya saya juga yah ga bisa banyak berbuat apa-apa juga sih. Tapi sedih aja.

Ini sih masih mending jualan tahu sumedang. Saya pernah ketemu bapa-bapa yang jauh lebih tua, jualan tangga, tangga cuuuuy, keliling kompleks. Bayangkan, dia memikul satu tangga yang panjang itu loh, dari kayu, dibawa-bawa keliling-keliling berharap ada yang beli. Yang mana, jelas kan orang ga akan beli tangga setiap hari. Pernah juga saya ketemu bapa-bapa penjual ulekan. Tau? Itu loh yang dipake buat ngulek sambel. Ibu saya punya ulekan dari batu, tau ga belinya kapan? Ih saya juga udah gatau, saking lamanya itu ulekan dibeli, ya abis dari batu kan, ga rusak-rusak laah. Jadi intinya yah, ulekan kayak begitu jarang kali ada yang beli. Iya kan?

Miris ya. Kalau buat saya sih miris, ga seharusnya orang setua itu bekerja sedemikian rupa. Itu sih pendapat saya pribadi. Dan kenapa juga harus ada orang yang bekerja macam begitu. Ga seharusnya juga kan. Pekerjaan yang sulit, dengan upah yang minim.

Masih rendahnya taraf kehidupan di negara ini membuat hal-hal macam begitu masih terjadi.

Saya dan kebanyakan dari kita sih beruntung, punya taraf kehidupan yang jauh lebih baik. Bisa sekolah setinggi ini, punya kesempatan untuk punya pekerjaan yang jauh lebih layak.

Seharusnya kita yang punya kesempatan untuk mencicipi hidup yang lebih baik ini ambil bagian untuk menolong orang-orang seperti itu.

Untuk saat ini, yang bisa saya lakukan sih ga banyak. Kalau ketemu nenek-nenek penjual cemilan di depan itb *neneknya udah tua banget seriusan, yah namanya juga nenek-nenek sih hehehe, tapi tua banget ciyus*, saya kasi aja uang lebih, abis disuru beli cemilannya juga pasti ga saya makan. Atau kakek-kakek penjual amplop di depan salman itb *wuuih kake ini juga udah tua banget ciyus deeh, dan agak susah diajak berkomunikasi*, ga ada salahnya kan dikasi uang lebih kalau beli amplop. Yah selain itu, untuk sementara saya gabisa ngapa-ngapain lagi. Kesel rasanya, ga bisa ngapa-ngapain hahaha. Tapi saya percaya kebaikan yang ditunjukkan setiap hari itu akan berdampak banyak kok. Mulai deh peduli sama orang-orang yang lebih susah dari kita. Berempati. Dan semoga dunia ini jadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali.

Kamis, 09 Oktober 2014

Maraton, bukan lari 100 m woy!

Kemarin, sehabis kuliah EOR, salah satu dosen favorit saya di TM, Mas Septo memberi wejangan singkat. Beliau bilang, hidup itu bukan kayak lari seratus meter, tapi lari maraton. Bukan soal siapa yang paling cepat larinya, tapi siapa yang kuat dan bisa bertahan, tekun menyelesaikan lomba lari.

Belakangan ini saya luar biasa rajin lari. Dua kali seminggu, ga mau absen. Rata-rata 2.4-3.2 km. Kadang kalau lari sama Bang Amry bisa menyentuh angka 3.6 km. Kalau bareng Tita doang dulu kadang hanya menyentuh 1.6 km sajaaa hehe. Tapi kalau lari sendiri, 7-8 putaran saraga itu selalu dijalani. Saya bukan pelari yang cepat, jujur saja, tapi lumayan kuatlah staminanya untuk ukuran cewe, minimal diantara temen-temen lari cewe saya lah. Dan saya ga pernah jalan kaki, jadi konstan lari terus.

Paragraf dua itu agak pamer sih hehehehehe ;p. Tapi intinya, saya tahu bahwa untuk berlari jauh memang perlu kemauan dan ketekunan. Dan itu yang dimaksud Mas Septo.

Mas Septo bilang, dan saya percaya mengingat usia dan pengalaman beliau, kalau orang sukses itu bukan orang yang kelihatan paling menonjol, tapi orang yang secara konstan mau bekerja keras, tahan banting, tekun, dan tidak mudah menyerah.

Itulah hidup, hidup itu kayak lomba lari maraton yang panjaaang banget. Cuman orang-orang dengan kemauan keras dan daya tahan yang kuat yang bisa menyelesaikan lomba dengan baik. Kalau kena angin dikit aja udah sedih, galau, dan nyerah, mending ke laut aja sana hahahaha.

Refleksi ke diri sendiri sih sebenarnya. Belakangan ini rasanya cape banget dan kadang ada banyak hal yang bikin takut menghadapi dunia ke depan. Belum lagi urusan personal yang lagi sangat amat menyebalkan. Tapi itu bodoh banget seriusan. Hidup itu buat dijalani dengan tekun, harus kuat dan tetap semangat. Kayak lagi lari maraton. Harus bisa finish!

Jumat, 03 Oktober 2014

Be a stand up girl!

Jadi cewe itu harus bisa mandiri, bisa berdiri diatas dua kakinya sendiri. Kalau bisa cari uang sendiri kenapa ga? Bagus banget kalau disekitar kita ada cowo-cowo yang gentlemen, kalau ga ada mau gimana? Jadi harus bisa ngurus diri sendiri dengan baik juga. Jangan terlalu manjaa.

Kalau kata Julien, dosen IFP yang langsung diimpor dari Paris buat ngajar surface facility selama satu minggu, in France, no matter you are small or tall, thin or big, white or black, you are beautiful when you can stand on your feet. 

Mandiri dan percaya diri. Ga peduli kamu laki atau perempuan, selama mau bekerja keras dan berusaha, kamu bisa raih apa aja dan jadi apa aja.

Rabu, 01 Oktober 2014

Nikmatnya bekerja itu sederhana ternyata.

Biarpun gaji saya dari lab ga banyak, tapi bahagia banget rasanya sewaktu bisa ntraktir mama sama ade saya makan dari hasil keringat saya sendiri.