Minggu, 14 Oktober 2012

Cerita Sabtu Malam, 131012

Kemarin malam aku menjenguk seorang teman yang ibunya sakit dengan beberapa teman. Karna berangkat dari sore hari dan macet di jalan, akhirnya kami baru pulang dari rumah sakit pukul 6 sore. Dalam hati aku merasa bingung. Bagaimana ini sudah jam 6 sore. Dari Imanuel ke rumah berapa lama ya? Masa harus pulang malam lagi. Kemarin bru pulang malam. Hari ini pasti kena marah. 

Tapi tentu saja pikiran tadi hanya ada dalam kepalaku. Aku tidak mengeluh atau memberitahu pada siapapun. Aku tidak suka merepotkan orang lain. Begitu pikirku.

Ketika masih di rumah sakit, teman yang kami jenguk ini melempar ide kepada yang lain untuk mengantarku pulang. Disitu mulai teman-temanku "yang kurasakan begitu" mengoper-oper tugas mengantarku. Entah aku terlalu melankolis atau terlalu perasa, aku merasa agak sedih. Seharusnya mereka tidak begitu. Aku tidak minta diantar. Aku tidak manja. Aku memang akan merasa sangat terbantu bila ada yang mau mengantar, tapi aku tidak suka meminta atau menyusahkan orang lain.

Akhirnya kami sampai kampus. Setelah temanku memarkir mobilnya. Aku langsung turun dan mengucap selamat tinggal. Aku pulang sendiri saja. Begitu pikirku. Dari belakang, aku mendengar sayup namaku dipanggil, tapi aku mengacuhkannya. Aku merasa harga diriku agak tersakiti ketika aku merasa mereka mengoper-operku. Aku pun berjalan bersama seorang temanku yang lain menuju kampus. Salah seorang temanku, sebut saja T, menyusul kami dari belakang dan bertanya kenapa. Aku jelaskan dan dia bilang mereka hanya bercanda. Aku tidak tahu.

Aku bukan pemarah. Entah, mungkin aku hanya kelewatan soal menilai ketulusan. Aku tidak mau diantar kalau aku merasa yang mengantar terbebani atau melakukannya hanya karna tidak enak hati. Mungkin pikirankulah yang jahat dan menyebalkan. Tentu saja mengantar orang yang rumahnya jauh itu menyebalkan dan merepotkan. Memang aku siapa hingga mereka harus mengantarku dengan sukacita. Rumahku jauh sekali. That's a fact.

Lalu tiba-tiba dia menelponku. Dia bertanya aku dimana. Tadi sebenarnya gw mau nganterin lo pulang, Rib. Jawabku, Bukannya kamu bilang mau ada ujian? Gapapalah rib orang ujiannya selasa. Tadi tuh cuman becanda riib. Begitu.

Aku agak bingung. Egoku mengatakan sudah pulang sendiri saja. Aku mandiri dan bisa pulang sendiri. Satu sisi, dia adalah teman baikku. Kalau aku mengikuti egoku, mungkin aku akan menyakitinya.

Mungkin dia juga lelah. Aku tahu dia mengantuk. Dia pun ada ujian. Tapi dia mau berkorban untuk mengantarku pulang kerumah. *yang selalu dia katakan bandung coret 15kali haha*. Entah karna dia merasa tidak enak, atau kasihan, tapi dia tetap melakukannya.

Lalu apa yang kumaksud dengan ketulusan? Mungkin bagi dia juga merasa berat. Tapi dia tetap melakukannya. Bukankah yang penting adalah apa yang akhirnya dia pilih.

Aku tidak akan pernah tahu apa yang dia benar-benar pikirkan. Aku tidak bisa menebak isi hati seseorang. Tapi yang aku tahu, dia mau merendahkan dirinya menelponku yang sudah pergi jauh dan mengacuhkannya. Dan mengatakan, gw udah biasa kok nganter-nganter orang rib. Santai aja. Itu berarti banyak.

*Untuk temanku :heii, maaaf belakangan aku jadi teman yang sering pundungan. Aku terlalu melankolis rupanya.
Senang sekali bisa mengenalmu dan belajar banyak darimu. Kamu baik tau:)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar